Bakti Santri untuk Negeri: Fatwa Jihad sang Kyai

kronologi-sejarah-perjuangan-kaum-santri-hingga-tercetusnya-resolusi-jihad-nahdlatul-ulama-demi-pertahankan-kemerdekaan-riKumandang adzan syahdu menggantung di langit senja Cibarusah, penghujung Bekasi dan Cikarang kini. Merahnya semakin pekat, sirna, sunyi. Area seluas 20 hektar itu kian lengang dengan karung-karung bertumpuk bekas latihan perang, di kelilingi hutan yang masih lebat dengan pepohonan yang kian melegam. Kini, para santri itu memasuki Masjid Mujahidin untuk melaksanakan shalat maghrib.

Entah mengapa Masjid itu dinamakan Masjid Mujahidin, suatu kebetulan atau tidak, diisi oleh orang-orang dari organisasi semi militer ‘Hizbullah’ – dalam bahasa arab bisa bermakna tentara atau golongan Allah – yang kini sedang berdiri, rukuk, sujud di naungan Masjid Mujahidin. Sudah beberapa hari berlalu, Awal Januari 1945, peresmian pelatihan militer bagi 500 anggota Hizbullah bermula.

Rapat pleno Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dipimpin Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari meresmikan seorang pemuda ansor NU, Zainul Arifin sebagai pangliman Hizbullah. Di Penghujung tahun 1944, Jepang semakin terdesak, sehingga membutuhkan pasukan ‘cadangan’ semi militer untuk menguatkan tampuknya yang semakin tergerus Sekutu.

Langit semakin gelap. Kyai Zarkasyi dari Gontor kini duduk di hadapan ratusan Kyai dan santri yang mengikuti pelatihan militer di Cibarusah. Tak hanya latihan fisik, para santri pun menikmati santapan lezat ruhani dari para Kyai dan ustadz.

Adalah KH Mustofa Kamil, KH Mawardi, Kyai Mursyid hingga Kyai Zarkasy dari Gontor yang didapuk sebagai pembimbing spiritual para laskar Hizbullah yang kebanyakan pemuda berusia belasan tahun. Namun, tak sedikit pula para ustadz dan Kyai yang ikut bergabung.

Setelah seharian berlatih, baris – berbaris, mengokang senjata, membidik sasaran, merayap, menyusup, hingga membuat bahan peledak, kini para santri pun kembali masuk ke Rumah Allah, sebelum nanti malam harus kembali ke lorong Asrama yang dibangun Jepang. Sebelum isya, para Kyai mengingatkan kembali ihwal makna jihad fisabilillah, yang mengukuhkan iman.

Ingatan tentang jihad saat itu mungkin masih apik terawat. Bagaimana alergi dengan jihad, kalau sehari-hari lembaran hidup mereka di isi dengan jihad? Tak ada tuduhan para ulama adalah teroris, kecuali dari para penampuk Kolonialisme. Tak ada orang yang berbisik untuk membincang jihad, sebab para pendahulu pun telah mewariskannya dengan sangat terang, bahkan hingga masuk ke lorong-lorong kampung.

Dan kini, lebih dari 50.000 orang santri telah siap beri’dad, walau hanya terpilih 500 orang terbaik dari puluhan wilayah se Jawa Madura.Bangunan jaringan Ulama yang disusun rapi oleh walisongo, diwariskan tiap generasi. Ingatan tentang jihad fi sabilillah menembus relung terdalam kalbu, mewujud dalam tindakan, yang direkam dalam Hikayat, senandung, hingga kisah dari mulut ke mulut. Dari para Wali, para Raja, para Pejuang yang kini mewangi menjadi pahlawan Nasional.

Berduyun-duyun nisan bergelar As Syahid itu terpahat, dalam batu nisan para Raja-raja di Nusantara dari generasi ke generasi. Ingatan itu dirawat, mewaris dalam semangat juang melawan Kolonialisme, dari satu ulama ke ulama selanjutnya, dan kini para santri pun mewarisinya.

Mungkin, sempat terbesit dalam benak kita, mengapa harus dilatih militer bersama Jepang? Mengapa justru tidak mati-matian berperang melawan Jepang? Justru, pertanyaan tersebut kita tanyakan kepada Jepang, mengapa pada akhirnya Jepang lah yang ‘memohon’, mengirim utusannya kepada Kyai Wahid Hasyim agar umat Islam bergabung dengan tentara Jepang?

Kita akan menengok sejenak saat Jepang pertama kali menginjakkan kaki ke bumi Jihad Nusantara ini. Saat para Ulama terus intens membangun komunikasi, dan terus membangun strategi perlawanan melawan penjajah baru yaitu Jepang. Saat itu, Jepang justru bersikap keras kepada umat, dan umat pun melawannya, tak henti-henti.

Semenjak mendapat penentangan keras dari para santri dan Kyai, sikap politik Jepang kepada umat Islam akhirnya seakan ‘melunak’. Masih sangat jelas, ketika dua Kyai Kesohor itu , KH Hasyim Asy’ari dan Ketua PBNU KH Mahfud Siddik menolak membungkukkan badannya untuk menghormati (seikerei) Tenno Heika, istana Kaisar Jepang di Tokyo.

“Hal itu haram hukumnya, bertentangan dengan akidah Islam,” ungkap Kyai Hasyim Asy’ari tegas. Tak ayal, dua ulama kesohor yang menolak membungkuk ini dijebloskan ke penjara. Pun dengan para Kyai di daerah-daerah pun melakukan hal yang sama. Bagi mereka, hanya Allah lah yang harus disembah, bukan manusia.

Sikap Jepang pada Kyai yang keras, membuat para santri bereaksi keras. Berkali-kali santri melawan Jepang, darah syuhada mengucur deras tak terbendung, seakan tak ada habis-habisnya. Pada akhirnya, Jepang melihat bahwa ada kekuatan yang sangat besar, yang menggerakkan para santri untuk terus bergerak: ingatan akan jihad fi sabilillah.

Melihat hal ini, Jepang pun akhirnya ingin memanfaakan potensi umat, untuk melawan Sekutu. Para Kyai pun dibebaskan, bahkan, secara khusus Sheiko Shikikan mengundang 32 Ulama Jawa dan Madura dan meminta maaf, serta mengakui kedudukan para Ulama di mata umat. Kejadian yang belum pernah sama sekali terjadi di masa Kolonial Hindia Belanda.

Bahkan, ketika pertemuan alim Ulama di Bandung, Dr. Abdul Karim Amrullah, yang juga menolak seikerei akhirnya dibiarkan. Sejak saat itu, umat Islam dibebaskan untuk tidak melakukan seikerei.

HJ Benda dalam The Crescent and Rising Sun bilang, kebijakan Jepang yang ditujukan pada umat Islam ini sebagai ‘Nippon’s Islamic Grass Root Policy’ , mendekati Kyai ,ulama, guru agama di desa, dengan maksud mendapatkan dukungan dari rakyat Indonesia yang mayoritas umat Islam.

”Jepang tampaknya mempunya keyakinan, bahwa untuk memenangkan peperangan melawan Sekutu, mereka harus mendapat dukungan dari seluruh rakyat Indonesia. Sedang mereka mengetahui, bahwa Kyailah yang dapat menyampaikan tujuan suci oleh karena para Kyai mempunya hubungan rapat dengan rakyat,”kenang Ketua BKR tokoh Muhammadiyah Kasman Singodimedjo dalam Hidup itu Berjuang.

“Jepang menilai para ulama dan pemimpin Islam tidak hanya semata-mata sebagai pemimpin non formal saja, melainkan sebagai tokoh masyarakat yang berwibawa dan sangat berpengaruh di kalangan rakyat yang sebagian besar beragama Islam.” Kata Kasman. Saking ingin menarik dukungan umat Islam, Kasman sampai mengisahkan bahwa saat organisasi militer PETA (Pembela Tanah Air) didirikan tanggal 3 Oktober 1943, banyak para Kyai yang dijadikan komandan.

Ihwal hal ini, Kasman punya kenangan tersendiri. Sewaktu Jepang hendak mendirikan Peta (Pembela Tanah Air) di Jawa dan Madura, yang diambil sebagian calon Daidancho (Komandan Batalion) dan seberapa mungkin Cudancho (komandan kompi) justru mereka yang mengerti agama Islam. Atau yang mempunyai pengetahuan tentang umat Islam, sampai- sampai ada orang yang namanya Kyai Sam’un yang barangkali dari kecil sampai tua tidak pernah berbaris, oleh Jepang juga dipaksa untuk menjadi komandan,” kenangnya.

Jepang, kata Kasman, memerlukan para Kyai yang memiliki pengaruh besar di kalangan rakyat. Ada Kyai Ternayta dari Serang Banteng, Martojumeno dan Yunus Anis dari Yogyakarta, Mulyadi, Joyomartono dari Solo. Bahkan, secara khusus Jepang mendirikan kantor urusan Agama (shumumbu) hingga tiap keresidenan (shumuka) hingga umat Islam pun dapat mendirikan federasi seluruh elemen umat yang bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) di penghujung 1943.

Sudah 17 kali diadakan pula pelatihan semacam kursus para Ulama selama medio Juli – Oktober 1943. Saifuddin Zuhri, aktivis Masyumi dan ‘asisten’ KH Wahid Hasyim (Ketua Harian Masyumi) saat itu mengisahkan dalam Guruku Orang-orang Pesantren, sepenggal 1945, di stasiun Kroya saat kereta menanti kayu bakar untuk melanjutkan perjalanan, bertemu dengan Kyai Mu’awwan yang sempat mengikuti pelatihan ulama.

“Saat itu ada 100 ulama, dipecah menjadi dua pasukan. Yang satu menjadi pasukan membela benteng. Yang satu menyerang benteng, saya jadi pasukan membela benteng,” kenang Kyai Mu’awwan.

Karena jaraknya cukup jauh, Kyai pun cukup santai, memerintahkan anak buahnya duduk-duduk, mengobrol. “Musuh masih jauh, santai saja,” alasannya. Tetiba hiruk pikuk musuh’ mendekat benteng. “Saya segera menyerah dan angkat tangan,” kata Kyai sambil terkekeh.

‘Maksudnya agar merasa senang dan perang pun bubar. Buat apa capek-capek orang tua disuruh bertempur lawan Kyai. Ini jepang harus diakali,” katanya lagi sambil tertawa. “Kalau dua pasukan Kyai saling bertempur, bisa jadi gotongan nantinya, saya akali saja, pasukan saya menyerah biar cepat bubar,” serunya tak dapat menahan gelak tawa.

Dan sekarang kita sudah dapat menjawab pertanyaan yang sekilas terbersit tadi. Memang, Jepang berencana ‘memanfaatkan’ umat Islam, namun ternyata para Kyai yang terus saling menjalin komunikasi inilah yang sebenarnya ingin ‘mengakali jepang’, jauh-jauh hari, bahkan sejak Jepang menginjakkan kakinya ke Negeri ini, di sepenggal 1942.

“Aku ingin memberitahukan kepada saudara bahwa suatu tahap baru dalam perjuangan kita harus kita mulai sekarang,” bisik KH Wahid Hasyim kepada Saifudin Zuhri, sepenggal 1942 di Hotel Des Indes, yang menjadi Kantor urusan Agama Islam

“Artinya Gus?” Tanya Saifudin Zuhri penasaran

“Setan gundul ini, maksudnya Jepang, merasa bahwa peperangan dengan sekutu akan memerlukan waktu lama dan kelengkapan perang yang bukan main hebatnya. Setan gundul tahu bahwa ulama mempunyai pengaruh yang besar sekali di kalangan rakyat kita,” katanya sambil membetulkan kaca matanya yang sedang melorot.

Didekati Saifudin Zuhri, berbisik pelan,”sebaliknya, mereka mengetahui bahwa rakyat sangat membenci orang-orang yang selama ini menjadi alat yang membantu setiap penjajahan Belanda. Jepang kini sedang memikat hati rakyat. Mereka sangat memerlukan dukungan rakyat!”

“Kita menghadapi tahapan baru dalam perjuangan, yakni menghadapi Jepang sebagai penjajah baru,” seru Gus Wahid. Saifudin Zuhri masih geleng-geleng kepala, belum menangkap maksud pembicaraan, sambil memotong.

“Bagaimana kita menghadapi Jepang. Mereka sangat kuat, punya angkatan perang yang bisa melakukan Manchuria, Tiongkok, dengan cepat, dan kini Filipina, Thai, Burma, Indo China, Malaya dan Indonesia?”

Sambil tersenyum, Gus Wahid melanjutkan, “Saudara ingat dongeng-dongeng Al Baidaba tentang cerita dunia binatang? Singa dan harimau sebagai raja hutan dan gajah mempunyai keperkasaan, toh bisa dilakalahkan kancil, dan kancil masih dikalahkan oleh siput-siput yang bersatu,” kata Gus Wahid.

“Bagaimana Gus aku masih belum mengerti, apa hubungannya dengan teori perjuangan?”

“Kita pakai ini!” sambil menunjuk ke keningnya. “Kita harus memakai otak dan pikiran. Kita bisa menjadi ‘kancil’ dalam menghadapi segala singa dan serigala. Dan saya akan mengubah teori Al baidaba, janganlah kancil bermusahan dengan siput, tapi harus bersahabat,” kata Gus Wahid.

“Kalau saya sendiri tidak akan bisa menjadi kancil yang berhasi mengelabui serigala dan singa. Akan tetapi kalau kita kaum ulama – santri bersatu, insya Allah akan jadi ‘kancil’ bahkan lebih dewasa dan lebih dari sekadar sosok kancil.” Tegasnya.

“Dari mana kita memulai?” sergah Saifudin Zuhri tak sabaran.

“Nah itu pertanyaan penting, Hadratus Syaikh dan saya diserahi Jepang membentuk kantor jawatan agama pusat. Saya katakan kepada saikoo sikikan bahwa hal itu tidak lah mungkin kalau tidak bentuk kantor cabang se Jawa Madura. Saya katakan kepala shumukacho harus seorang ulama,” kata Gus Wahid.

Ketika Jepang bertanya, saya jawab karena tugasnya Ulama mengurus umat dan agama, tidak ada yang ahli kecuali ulama. Pegawainya bisa kita cari yang berjiwa Islam dan bercita-cita perjuangan Islam,” kata Gus Wahid.

Kepalanya Shumurkacho harus seorang ulama. Ketika Jepang bertanya mengapa harus ulama, saya jawab karena tugasnya mengurus agama Islam, tidak ada yang ahli kecuali ulama. Adapun pegawainya, berjiwa Islam dan cita-cita perjuangan islam.

“Prinsipnya kita membantu Jepang?” Tanya Saifudin Zuhri

“Saudara harus tau, ini perjuangan. Dalam perjuangan bisa berlaku tipu muslihat. ini istilahnya saja secara kasar. Musuh menipu kita, dan kita memakai akal, sehingga siapa memperalat siapa. Saudara amasih ingat, bukankah dalam Al Quran difirmankan:

Wamakaru wa makarallahu, wallahu khairul makirin” Mereka melakukan tipu daya, dan Allah Maha Pengatur Daya Upaya!”

“Saya kasih tau ya, ini bangsa menamakan dirinya Nippon. Di kalangan para santri, Nippon yang oleh Jepang harus diucapkan Nippong itu artinya ‘nipu wong’ (menipu orang). Mereka katanya akan membebaskan dari Belanda, tapi penipuan mereka. Maka kita tidak bisa membalas mengakali mereka,” kata Gus Wahid sedikit terkekeh.

“Prinsipnya kita ini membantu diri kita sendiri,” tegas Gus Wahid.

“Kita membantu diri sendiri melalui kesempatan yang mereka berikan. Mungkin, dan ini pasti mereka akan memperalat kita, tapi kita bukan benda mati. Kita gunakan kesempatan itu alat berjuang sementara.

“Ibarat orang main sepak bola, kita mungkin akan kemasukan gol. Tetapi jika kita pandai menyepak bola, tahu akan peraturan permainan, mengadakan kerjasama yang baik dengan kesebelasan kita, kita juga akan memasukkan gol-gol ke gawang lawan. Memang perjuangan besar, tetapi harus kita mulai dari sekarang. Hari- hari yang akan datang, kita akan disibukkan oleh pekerjaan-pekerjaan besar yang penuh bahaya. Tetapi, wamayyataqillaha yaj’allahu makhroj.” Tutupnya sepenggal 1942.

Bahkan tak hanya memanfaatkan kondisi, penghujung Oktober 1943, para Ulama pun bersatu mendirikan Majelis Syuro Muslimin Indonesia, gabungan partai dan elemen politik Islam :Muhammadiyah, NU, PUI, PSII, dll dan dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari, namun secara harian digerakkan oleh putra beliau, KH Wahid Hasyim.

“‘Menyusun seluruh tenaga umat Islam Indonesia membantu Jepang, untuk kemenangan akhir bagi kita,” kata Gus Wahid saat ditanya mengapa didirikan Masyumi.

“Jepang menganggap kata ‘kita’ itu mereka. Padahal yang sebenarnya ya kita-kita ini,” kata Gus Wahid kembali mengisahkan kepada Saifudin Zuhri, asistennya yang juga ketua Masyumi wilayah Kedu, yang juga tokoh pemuda NU.

“Bukan main diplomasinya Gus,” kata Saifudin Zuhri.

“Jepang mulai kewalahan, Sekutu mulai menyerang daerah yang diduduki Jepang. Kita berunding satu sama lain, kesempatan ini kita jadikan strategi mendesak Jepang agar memberikan kesempatan bangsa Indonesia agar mengatur urusan dalam negeri, dan Jepang fokus saja pada sekutu,” kata Gus Wahid

“Lalu Jepang mau percaya?”

“Kita selalu membuat slogan-slogan gerakan begitu rupa, sehingag seolah-olah senasib dan sepenanggunan. Slogan kita anti Belanda, kita perhebat kampanye, Jepang percaya kita anti Belanda, dan menurut tafsiran Jepang kita pro dia, padahal tidak,” kata Gus Wahid.

“Kalau begitu kita ‘menipu’ Jepang?” Tanya Saifudin Zuhri

Gus Wahid seolah menjawab pertanyaan serupa yang pernah ditanyakan, kembali mengingatkan,”‘Ente jangan lupa, Nabi pernah mengatakah, Al harbu khid’ah, peperangan itu penuh tipu muslihat. Kita hidup di zaman perang bukan? Dalam suatu peperangan berlaku suatu ketentuan: membunuh atau dibunuh, ‘menipu atau ditipu’, mengelabui atau dikelabui. Tinggal pilih, kita mau yang mana? Tentu saja kita mau unggul,” katanya.

Mengangguk, Saifudin Zuhri sebagai pimpinan Masyumi wilayah Kedu pun bertanya,” Lalu tugas apa yang diserahkan kepadaku?” sambil menelan ludah. Dengan senyum seakan sudah paham, Gus Wahid pun mulai menjelaskan.

“Jepang meminta kepadaku agar pemuda –pemuda Islam memasuki heiho, serdadu cadangan untuk di kirim ke medan perang,” kata Gus Wahid Hasyim. “Saya mengajukan pikiran lain, tapi ini panjang ceritanya,” kata Gus Wahid.

Sebelumnya, ia didatangi Abdulwahid Ono, penyambung lidah pihak Jepang Seiko Sikikan dengan umat Islam –dalam hal ini Masyumi – yang memaparkan bahwa serangan sekutu ke wilayah yang dikuasai Jepang, membuat Jepang semakin kewalahan.

“Saya katakan saja, kalau pemuda santri dilatih kemiliteran untuk pertahanan di dalam negeri, mempertahankan sejengkal tanah air akan lebih menggugah semangat dari pemuda-pemuda kita, itu alasan saya,” kata Gus Wahid.

“Dari serangan sekutu?” Saifudin memperjelas.

“Dari sekutu maupun musuh yang lain, musuh yang berada di jantung jalanan kita –maksudnya Jepang – lebih didahulukan pengusirannya daripada jauh di luar tanah air,” kata Gus Wahid. “‘Tetapi kita belum mempunyai kecakapan mengusir musuh” tanyaku

“Makanya, aku minta Jepang melatih pemuda-pemuda kita dibidang kemiliteran,” jawab Gus Wahid.

“Tetapi apakah jepang mau terima logika kita,” aku meneruskan bertanya.

“Saya katakan pada Abdul Hamid Ono, menghadapi kekuatan sekutu di medan perang harus dibebankan kepada tentara yang sudah terlatih baik yaitu tentara Dai Nippon sendiri. Pemuda yang baru dilatih kemiliteran mungkin akan menyulitkan tentara Jepang seprofesional itu. Lain halnya kalau pertahanan dalam negeri diserahkan kepada pemuda kita. Dengan demikian, serahkan pertahanan dalam negeri kepada kita,” jelas Gus Wahid.

“Pemuda –pemuda kita dijadikan PETA atau juga membentuk laskar santri tersendiri? “ Tanya Saifudin Zuhri.

“Saya merencanakan demikian, sebagian pemuda-pemuda kita masuki PETA. Adik saya seendiri Abdul Khaliq Hasyim memasukl PETA, dilatih menjadi Daidancho. Demikian saudara Wahib Wahab putera KH Wahab Chasbullah juga masuk sebagai shodanco.”

“Saya pun mengusulkan kepada Jepang, agar para pemuda santri dibentuk ‘Tentara Allah’ Hizbullah, seperti halnya PETA, Hizbullah ini membela dan mempertahankan tanah air kita,” tegas Gus Wahid Masyumi mantap. Dan apa yang bisa dilakukan Saifudin Zuhri? Tak lain dan tak bukan ialah ‘blusukan’ mengumpulkan orang-orang terbaik dari lorong-lorong desa, hingga berkumpullah di Cibarusah, kader-kader terbaik umat.

***

Terik membelai setiap jengkal lapangan kering di Cibarusah. Suasana sangat formal. Hari ini ialah hari pembukaan pelatihan Hizbullah. Gunseikan, para perwira Jepang kini sedang bersiap-siap. Di lapangan sejauh mata beredar, ratusan santri telah berbaris rapi. Pimpinan Masyumi tak ketinggalan hadir, karena urusan pembinaan Hizbullah diserahkan kepada Masyumi.

Jepang hanya melatih fisik secara militer, yang dipimpin oleh Kapten Yamazaki. Berseragam biru, mengenakan peci hitam putih, dengan logo Hizbullah bulan sabit dan bintang, para santri nampak gagah. Zainul Arifin, sang panglima berdiri paling depan, menghadap para Pembina Masyumi.

Dalam sambutannya, Gus Wahid mengingatkan bahwa latihan militer ini bertujuan membela agama Islam dan juga menggapai kemerdekaan dan merawatnya. 20 pelatih jepang dan PETA, bersama Kapten Yamazaki pun akhirnya memulai latihan.

Nampak para santri dari pelbagai ormas hadir, NU seperti Zainul Arifin, Muhammadiyah nampak Abdul Mukti. Surowiyono dan Sujuno didaulat menjadi bagian umum. Tokoh Nasional Anwar Cokroaminoto, KH Zarkasy dan Mashudi menjadi bagian propaganda dan dakwah, juga Prawoto Mangkusasmito dan Raden Haji Odned Junadi menjadi bagian keuangan,

Wajah-wajah yang tak asing pun nampak dengan jelas. Kiai Mustofa Kamil (Banten), KH Mawardi (Solo), KH Zarkasy (Ponorogo), KH Mursyid (Pacitan), KH Syahid (Kediri), KH Abdul Halim (Majalengka), KH Thohi Dasuki (Surakarta), KH Rojiun (Jakarta), KH Munasir Ali (Mojokerto), KH Abdullah, KH Wahib Wahab (Jombang), KH Hasyim Latif (Surabaya), KH Zainuddin (Besuki), Sutlhan Fajar (Jember), KH Abdullah Abbas (Cirebon).

Pelatihan dimulai dengan pemanasan. Peserta diajarkan baris berbaris. Terik yang menggantung di Cibarusah tak menghalangi semangat juang para Kyai dan santri. Memang, Jepang tak melakukan hukuman fisik, karena pesertanya adalah para Kyai dan santri yang dinilai ta’at, terlalu beresiko bagi Jepang membuat onar. Hukuman bagi anggota Hizbullah yang melanggar aturan, ialah bertarung Sumo melawan perwira Jepang.

Satu per satu peserta pun dilatih merayap, mengenakan bayonet, hingga membuat bom Molotov. Ciri khas pelatihan ini ialah disiplin tinggi. Satu persatu dengan dan tanpa komando, semua terlakoni. Peluh menetes, membasahi wajah. Dalam diri terpatri : Inilah I’dad, persiapan kelak akan memenuhi seruan jihad.

Sesekali, rindu akan keluarga di kampung halaman, namun tekad sudah bulat. Sambil berkaca, kembali memantapkan tekad, sambil bersenandung, Mars Hizbullah tercinta, bahwa kelak, Islam akan tegak di tanah air tercinta. Tak terasa, air mata sudah meleleh, melewati pipi, menetes, sambil bersenandung:

Barisan Hizbullah tentara Tuhan

Telah Siap Sedia

Membela Nusa Bangsa dan Agama

Agama Islam Mulia

 

Sekarang sudah tibalah waktunya

Menggempur musuh kita

Yang akan memperbudak bangsa kita

Dengan sesuka hatinya

Reff:

Majulah pahlawan bangsaku

Sebulah’kan musuhmu

Mesti Pasti kamu jaya

Musulhkan yang binasa 2x

Nampaknya, ‘blusukan’ Saifudin Zuhri ke pelosok-pelosok pulau Jawa bukan blusukan biasa. Sangat banyak pemuda yang ingin bergabung dengan Hizbullah, namun Saifudin hanya memilih lima orang terbaik tiap wilayah. Tercatat, anggota Hizbullah bisa mencapai 50.000 kelak. Didatanginya satu per satu kampung, dengan naik kereta, numpang mobil, hingga berjalan kaki berhari-hari, berbulan-bulan, menyusun kekuatan.

Sehari, dua 10 hari di Cilacap. Melewati hari-hari panjang menuju Kebumen. Bersua dengan para santri. Melihat lengangnya satu per satu pesantren, karena sebagian orang tua tak sanggup lagi menyekolahkan anaknya. Angin kemarau menusuk pori-pori menemani perjalanan panjang Saifudin menuju Purworejo.

Di Kebumen sendiri, Saifudin singgah di Pesantren Wanayasa. Lengang, melompong. Tetiba, pria tua berusia 70 tahun dengan sarung khasnya itu menyapa. “Amat senang saudara datang ke sini,” kata Kyai Haji Nasuha, sahabat KH Hasyim Asy’ari saat mukim dan menuntut ilmu di Mekkah.

“Sejak Jepang datang , negeri ini seperti diamuk Yajuj dan Majuj,” kata Kyai. “Pada bubar semua, apa yang bisa kita lakukan, coba kisahkan bagaimana strategi kita kelak?” kata Kyai Nasuha.

“Menurut teori perjuangan yang diceritakan KH Wahid Hasyim, pemberontakan harus dilakukan seluruh elemen umat pemuda Indonesia dengan melatih para pemuda. Siapa yang melatih? Tak lain Jepang sendiri. Kalau kita akan melawan Jepang, kita harus tahu akan ilmu Jepang,” kata Saifudin Zuhri.

“Agar mereka percaya dan tidak curiga, kita harus menanamkan kepercayaan bahwa maksud latihan kemiliteran ini untuk bersiap melawan Belanda dan kawan-kawannya. Jepang mengisyafi bahwa Belanda memang bermaksud untuk kembali menjajah Indonesia lagi. Berarti, jika pemuda-pemuda kita sudah mahir ilmu militer, nah tinggal tunggu saat yang baik kita serentak mengangka senjata melawan Jepang!” tegas Saifudin Zuhri.

“Kalau begitu, biar santri-santri ikut belajar militer. Di mana bisa belajarnya?” Tanya Kyai Nasuha penasaran.

“Kini telah terbentuk hizbullah, pemuda-pemuda santri dididk kemiliteran selama 6 bulan di Jakarta. Tiap Kabupaten diharukan mengirim lima orang pemuda dari pesantren. Nanti, kalau sudah lulus, mereka diwajibkan melatih pemuda-pemuda di daerahnya. Diutamakan pemuda pesantren, kedatanganku ke sini memohon dia dan mencari calon-calon yang akan dikirim,” kata Saifudin Zuhri.

“Baik, lima orang nggak sulit, ada banyak santri di sini, ada Abdullah Al Hada, Marzukul, bairan, Samirun, Mafudz, dll,” kata Kyai. Kyai pun mengajak bermalam. Semakin larut, para Kyai berdatangan, KH Muhsin, KH Ishom, Kyai Afandi, H Hasjim, dan semuanya berunding menentukan lima orang yang akan bergabung pelatihan militer Hizbullah.

Semburat pagi belum menyapa pucuk pepohonan, Saifudin sudah harus melanjutkan perjalanan ke Purworejo. Perjalanan Kebumen Kutoarjo yang hanya 40 km ternyata ditempuh dalam waktu 9 jam, sungguh melelahkan. Kereta Api penuh sesak oleh penumpang, bahkan hingga atap. Berhenti setiap 5-10 menit, karena kehabisan kayu bakar. Terpaksa para penumpang mencari kayu bakar.

Di Purwerejo, Saifudin bersua dengan Kiai Damanhuri yang sedang wiridan sendirian di Masjid. Malam, perjalanan pun berlanjut, Yogyakarta, Magelang, Parakan, Wonosobo, dan daerah-daerah lainnya selama berhari-hari, berganti bulan, hingga tak terasa, kemerdekaan sudah di depan mata. Indonesia Merdeka!Paginya, Purwerojeo, yogya, Magelang, parakan, Wonosobo.

Saifudin pun membentuk barisan Hizbullah Kedu di Magelang dibimbing oleh KH Muslich Banyumas, dan shodanco Daidan PETA Ahmad Yani. Di masa yang sama, pemberontakan rakyat mulai terjadi: PCNU Tasik Malaya, KH Zainal Mustofa dari Pesantren Sukamanah mulai melawan Jepang. Bahkan KH Ruchiyat Cipasung, diberondong Belanda. Di Cirebon, Cianjur, Blitar, hingga Sukabumi, semua bergolak.

Di Jombang, dibawah pimpinan Hadratussyaikh dan KH A Wahab Chasbullah diselenggarakan gerakan riyadhah Rohani di kalangan para ulama. Kecuali meningkatkan semangat pembelaan tanah air, juga mengamalkan beberapa wirid Hizur Rifai, Hizbur Bahr, Hizvyn Nawawi, daln lain-lain doa dipompakan dalam Riyadhah ruhiyah tersebut.

Dalam banyak kesempatan, KH A Wahid Hasyim menjelaskan bahwa perjuangan harus disandarkan pada penyusunan kekuatan lahir batin, pengorganisasian dan tawakal kepada Allah. KH Whaid Hasyim mengerakkan kampanye yang ditujukan pada dunia pesantren alim ulama. Kampanye ini bernama Mahadi Nashrillah terdiri dari 3 pasal

  • Tazawuru ba’dhuhum bad’da: saling kunjung mengunjungi dan mempererat persatuan
  • Tawashaw bil haqq wa tawasahw bi shabri, saling mensehati tentang kebenaran dan kesaban berjuang
  • Ridyahdah Ruhaniyah, mendekatkan diri kepada Allah untuk memohon pertolonganNya.

Kemenangan semakin dekat!

***

“Merdeka!….Allahu Akbar…! Merdeka…!!” Pekik takbir dan merdeka berkumandang sepanjang mata beredar. Laskar-laskar saling bersapa di jalanan, meneriakkan takbir dan merdeka. Benar-benar nyata, Indonesia merdeka!. Jepang menyerah kepada Sekutu, Soekarno Hatta memproklamirkan kemerdekaan RI.

Menjelang proklamasi, Jepang membubarkan PETA. Namun Hizbullah tak bubar. Hizbullah tetap utuh, dibawah komando Masyumi. Indonesia yang baru berumur beberapa jam saja, masih dirudung ketidak jelasan sana sini. Laskar-laskar pun bermunculan. Tentara Negara formal belum efektif, sampai akhinya dikeluarkannya maklumat 5 Oktober pembentukan TKR, namun masih belum terlalu signifikan.

Ketua KNIP Pertama yang juga Tokoh Muhammadiyah Kasman Singodimedjo mengeluarkan kembali maklumat tanggal 9 Oktober agar para perwira Heiho, PETA, Hizbullah, dan lainnya bergabung ke TKR melalui kantor BKR masing-masing. Namun, seruan ini belum berfungsi, bahkan diawal, TKR bersifat otonom.

Berbeda dengan tentara yang menunggu keputusan pemerintah, para laskar secara spontan dan otonom. Hizbullah cukup solid, dengan anggota yang sangat banyak, di bawah bendera Masyumi. Melalui ormas di daerahya, NU, Muhammadiyah, SI, PUI, dll laskar-laskar terus dibentuk.

C Vand Dijk bilang, hanya laskar Hizbullah yang tumbuh menjadi organisasi militer sejati di mana banyak cabang-cabang baru dari kesatuan yang didirkan. Di Jawa Barat terdapat dua divisi Hizbullah yang masing-masing dipimpin Zainul bachri dan Syamsul Bachri. Di Jawa Timur kesatuhan Hizbullah pada tingkat daerah di komandani A Wahib Wahab , di Yogyakarta oleh KH Badawi.

Di Jawa Tengah, Divoisi Hizbullah Kedu terbentuk dengan membawahi lima resimen. Ada juga Divisi Demak Bintoro di Semarang, ada Divisi Solo, Divisi Yogyakarta, dan terus beranak pinak hingga sampai ranting-ranting pelosok desa.

Sebagai contoh, di Jawa Tengah saja Hizbullah pada Divis Hizbullah Kedu panglimanya adalah Saleh Ansyari membawahi Resimen 1 Hizbullah Magelang (komandan sakir), D Resimen II Hizbullah Purwerjeo, Resimen III Kebumen, Resimen IV Wonosobo, Resmen V Temanggung

Karesidenan Pekalongan, Divisi Hizbullah Syairf Hidayatyllah. Karisedenan Pati Hizbullah Sunan Ampel. Di Semarang, battalion Hizbullah Demak Bintoro. Hizbullah Yogyakarta Sultan Agung atau Divisi Mataram. Bahkan, anggota Hizbullah diperkiranan lebih banyak dari TKR, namun, tak seluruhnya memiliki senjata. Karenanya, kini Jepang pun menjadi sasaran rakyat Indonesia. Dialog Saifudin dengan Kyai Mu’awwan mengisahkan kondisi saat itu.

“Bagaimana halnya dengan pemuda Hizbullah di Purwekorto?” Saifudin Zuhri bertanya pada Kyai Mu’awwan sepenggal hari-hari pertama Kemerdekaan.

“Pemuda-pemuda kita, sekarang mendirikan TKR, “ jawab Kyai Muawwan.

“Tapi Hizbullah tetap utuh, kemarin dahulu telah merebut senjata Jepang, hasil sebuan kita ke Butai Jepang, pemuda-pemuda Hizbullah kini sebagian telah memiliki senjata,” kata Kyai.

“Menyerbu dengan bambu runcing di tangan?” Tanya Saifudin Zuhri keheranan?

“Ya, dengan bambu runcing” jawabnya

“Bambu runcing di tangah orang pemberani lebih ampuh dibanding tangan gemetar ketakutan. Jepang dalam kadaan ketakutan menghadapi pemuda-pemuda yang tengah berang dnegna tekad mati syahid,” kata Kyai sambil tersenyum.

Pelucutan senjata Jepang terjadi di mana. Apalagi setelah mendengar Jepang akan melakukan ‘serah terima’ kepada Sekutu, rakyat semakin beringas, tak ingin Sekutu mengambil alih kemerdekaan. Di Magelang, para Hizbullah menyerbu budai Jepang yang menjadi gudang senjata.

“Saat Jepang gemetaran.Itulah saat paling tepat untuk memperoleh sejnata, merebut dari tangan Jepang sendiri,” kata Kyai Mu’awwan.

Saifudin Zuhri pun mengangguk, mungkin sambil merenung, memerhatikan dan berguman dalam hati. “ Kini pesantren-pesantren telah berubah menjadi markas-markas Hizbullah. Pengajian telah berubah menjadi latihan menggunakan senjata, entah karaben, mitraliur , ataupun granat tangan seperti ada yang memberi komando di mana-mana berdiri barisan pendamping ‘Hizbullah’,”gumannya.

“Malah, sebagai pemimpin Hizbullah, aku bingung juga menghadapai begitu banyak pasukan. Tiap pesantren mendirikan pasukan ‘Hizbullah’, tiap Kyai punya pasukan Sabiluillah. Bagaiaman mengatur manusia begitu banyak? Apalagi semuanya minta ‘mati syahid’?” Tanya Saifudin kebingungan.

Namun bagi Saifudin, dirinya belajar banyak hal dari gurunya Kyai Wahid Hasyim, bahwa dalam perang banyak peran yang bisa dijalankan. “Mulai aku atur pembagian pekerjaan. Pertama, pasukan pengangkut, orangn yang diserahi transportasi. KH Wahid hasyim bilang banyak pemuda bekerja di bengke-bengkel mobil militer Jepang. Zaman perjuangan, siapa lebih dahulu menguasai alat pengangkutan, maka ia selangkah lebih maju,” kata Saifudin.

Berbondong-bondong pasukan Hizbullah mengalir dari truk yang didapatkan dari Jepang. Para ibu muslimah semua memasak, memberikan makanan untuk para laskar. Masjid-masjid dijadikan pusat mengumpulkan bahan makanan dan dapur umum.

Asap mengepul di mana-mana. Di Surabaya, ribuan orang menjadi korban keganansan bekas tentara Jepang yang akhirnya dapat di kalahkan. Markas-markas perwira tinggi Jepang menjadi markas Hizbullah, seperti yang terjadi di Magelang. Suara tembakkan menggelgar di atas langit Indonesia!

Di saat yang bersamaan, secara cepat, tiba-tiba saja AFNEI (Allied Forces Netherlands East) pada tanggal 9 September melalui penghubung Mayor Geenlhalgh sudah tiba di Jakarta.

Hadratus Syakh Hasyim Asy’ari pun mendapat pelbagai pertanyaan dari umat, termasuk dari Presiden Soekarno, mengingat gentingnya keadaan Negara. Pada tanggal 17 September, akhinya beliau mengeluarkan Fatwa Jihad! Yang akhirnya kelak dikukuhkan menjadi resolusi jihad:

  • Hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardhu ain bagi tiap-tiap orang Islam!
  • Hukumnya orang yang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotannya adalah mati syahid!
  • Hukumnya orang yang memecah persatuan umat Islam ktia ini wajib dibunuh!

Fatwa Jihad ini sebagai antisipasi, jika Sekutu berbuat macam-macam terhadap keutuhan Negara. Benar saja, tak lama, penghujung September, dengan kapal perang Inggris Cumberland, Laksamana Muda Petersen membonceng NICA (Netherlands Indies Civil Administration) datang ke Tanjung Priok. Dan terdengar kabar pula, kapal perang susulan akan tiba di Semarang dan Surabaya pula kelak.

Menyikapi fatwa, para Ulama pun akhirnya berkumpul. Bulatan merah Kalender menunjuk tanggal 21 Oktober 1945. Ratusan Ulama pun berdatangan Surabaya. Suasana Surabaya lain dari biasanya. Dikabarkan tentara Sekutu sudah tiba di Jakarta, dan beberapa hari lagi akan tiba di Surabaya dengan dalih melucuti Jepang yang sebenarnya sudah mulai dilucuti oleh rakyat Indonesia.

Kedatangan mereka sebenarnya tak perlu, karena rakyat Indonesia sudah merdeka dan dapat mengurus semuanya sendiri. Namun, apa daya nafsu berkuasa para penjajah. Lihat saja, peristiwa di Hotel Yamato September silam saat bendera Belanda berkibar. Tak ayal, kelak akan ada tantangan besar untuk bangsa ini, karenanya seluruh ulama Rais Syuriah dan Tanfidziyah NU seluruhnya berkumpul di Kantor Pengurus Besar NU Surabaya, termasuk aku.

Di Jalan Bubutan 6/2 Surabaya itu, satu persatu ulama berdatangan: Ketua Majelis Syuro Masyumi dan Rais Akbar NU KH Hasyim Asy’ari bersama putranya KH A Wahid Hasyim. KH M Dahlan, KH Mukhtar, KH Zuhdi, KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Abdulaziz kudus, KH M Ilyas Pekalongan, KH Abdulhalim Shiddiq Jember, dan lainnya.

Sebelumnya, para ulama-ulama di daerah pun telah mengikuti fatwa Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Di wilayah Kedu misalnya, terdapat keputusan: Segenap warga NU lelaki dan perempuan wajib berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan niat jihad fisabilillah binizham (terorganisasi).

Dalam pertemuan itu pun nampak, Saifudin Zuhri yang akhirnya bisa bersua dengan KH Wahid Hasyim kembali, setelah melakukan ‘blusukkan’nya. “Namanya revolusi. Umat Islam bangkit serentak membela kemerdekaan, mereka mengikhlaskan nyawa mereka, apalagi yang lain. Ini harus dicatat dalam sejarah,” kata Gus Wahid terdengar cukup keras kepada Saifudin Zuhri.

“Cuma, namanya begitu seram..Angakatan Perang Sabil,” kata Saifudin Zuhri menanggapi.

“Tapi biar saja, itu refleksi dari semangat berjuang dan tafaul, mengharapkan berkah. Lha? Nama Hizbullah apa tidak seram? Artinya kan ‘tentara Allah’. Di Surabaya kini muncul pasukan baru bernama ‘Malaikatul maut’, apa kurang dahsyat? “ tertawa bersama.

Perbincangan pun tertunda karena Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari tiba dan memberikan arahan. Dalam bahasa Arab yang fasih, beliau membuka Muktamar ini. Mata kami pun berkaca-kaca mendengar seruannya, bahwa hanya dengan jihadlah, umat ini menjadi mulia. Haru menyeruak dalam ruangan sempit itu, dalam suasana genting semua menyimak ucapan Hadratus Syaikh.

Apakah ada dan kita orang yang suka ketinggalan, tidak turut berjuang pada waktu-waktu ini, dan kemudian ia mengalami keadaan sebagaimana yang disebutkan Allah ketika memberi sifat kepada kaum munafik yang tidak suka ikut berjuang bersama Rasulullah…

Demikianlah, maka sesungguhnya, maka pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatannya, dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambutpun.

Barangsiapa memihak kepada kaum penjajah dan condong kepada mereka, maka berarti memecah kebulatan umat dan mengacau barisannya….

Maka barangsuapa yang memecah pendirian umat pancunglah leher mereka dengan pedang…

Pidato Hadratusyaikh berapi-api menggetarkan jiwa, bahwa tak bisa kita hanya duduk saja. Hari semakin larut. 22 Oktober 1945, Pimpinan rapat KH Abdul Wahab Hasbullah meminta satu persatu anggota menyampaikan pandangan tentang tentara NICA dan Sekutu yang akan merangsek ke Indonesia.

Sebelumnya, Hadratus Syaikh pun memberikan arahan – arahan tentang jihad dalam beberapa poin seperti:

  • Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agsutus 1945 wajib dipertahankan
  • RI sebagai pemerintah sah wajib dibela dan dipertahankan
  • Musuh RI terutama Belanda dan Inggris dalam tawanan perang bangsa Jepang, tentulah akan, menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia
  • Umat Islam terutama Nahdatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan Sekutu dll
  • Kewajiban tersebut jihad tiap umat Islam, fardhu ‘ain, dalam radius 94 km, jarak diperkenankannya sembahyang jama dan qashar. Adapun mereka yang berada di luar jarak tersebut, berkewajiban membantu saudaranya dalam radius 94 km itu.

Akhirnya, dengan suasana haru, seakan pertemuan terakhir, terciptalah ‘Resolusi Jihad’, sebuah pernyataan sikap, sebuah fatwa akan “Wajibnya laki-laki dan perempuan berjihad fisabilillah mempertahankan agama dan negara!” KH Wahab Hasbullah bergetar membacakan Resolusi jihad dengan perasaan haru, dan mata berkaca:

Bismillahirrahmaanirrahim

Rapat besar wakil-wakil daerah ((konsul-konsul) Perhimpunan Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaya.

Mendengar

Bahwa di tiap-tiap daerah di seluruh Jawa-Madua ternyata betapa besarnya hasrat umat Islam dan alim ulama di tempatnya masing-masing untuk mempertahankan dan menegakkan Agama, Kedaulatan Negara Republik Indonesia Merdeka

Menimbang

  1. Bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut Hukum Islam, termasuk sebagai kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam
  2. Bahwa di Indonesia ini warga negaranya adalah sebagian besar terdiri dari umat Islam

Mengingat

  1. Bahwa oleh pihak Belanda (NICA) dan Jepang yang datang dan berada di sini telah banyak sekali dijalankan kejahatan dan kekejaman yang mengganggu ketentraman umum
  2. Bahwa semua yang dilakukan oleh mereka itu dengan maksud melanggar kedaulatn Negara Republik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali menjajah di sini maka di beberapa tempat telah terjadi pertemputaran yang mengorbankan beberapa banyak jiwa manusia
  3. Bahwa pertemputaran-pertempuran itu sebagian besar telah dilakukan oleh umat Islam yang merasa wajib menurut agamanya untuk mempertahankan kemerdekaan Negara dan agamanya
  4. Bahwa di dalam menghadapi sekaliam kejadian-kejadian itu perlu mendapatkan perintah dan tuntukan yang nyata dari pemerintah Republik Indonsia yang sesuai dengan kejadian-kejadian tersebut

Memutuskan

  1. Memohon dengan sangat keapda pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan syatu sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangannya
  2. Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat ‘sabilillah’ untuk tegaknya Negara Republik Indonesia dan Agama Islam

Surabaya, 22-10-1945, HB Nahdatul Ulama

Bulir- bulir bening mata tak terasa berkumpul. Menetes lembut melewati pipi, janggut, dan lidah ini hanya kelu. Bahwa panggilan jihad telah ditabuh. Tak ada kata lagi untuk mundur! Dalam haru dan syahdu, entah wajah-wajah di samping kiri dan kanan, kelak siapa yang dahulu menjadi syuhada. Semua saling berpelukkan, saling memandang, jikalau ini adalah pertemuan terakhir di dunia.

Dalam harap, semua hanya dapat menginsyafi, bahwa negeri ini harus dirawat dan dipertahankan, bahkan jika harus berkorban harta dan jiwa. Itulah resolusi untuk negeri dari kaum santri. Dan semua tak tahu, musuh seperti apa yang akan bertandang kelak? Sekali panggilan jihad menyapa, pantang untuk kembali kecuali dengan kemenangan!

“Berangkatlah kamu baik ringan maupun susah. Dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui” (QS At Taubah: 41)

bersambung: Elegi 10 November dan Resulusi Jihad yang Ter(di)lupakan)

Oleh: Rizki Lesus – Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

*Tulisan ini hanyalah cerita pendek, diambil dari catatan sejarah yang berserak

Sumber:

Berangkat Dari Pesantren, Saifuddin Zuhri (2013)

Guruku Orang-orang Pesantren, Saifuddin Zuhri (1974)

Laskar Ulama dan Santri & Resolusi Jihad , Zainul Milal Bizawie (2014)

Hidup Itu Berjuang, Panitia Peringatan Kasman Singodimedjo 75 Tahun (1982)

Observasi penulis ke beberapa pesantren di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur

Tinggalkan Komentar